Buku Pertama di Tanah Batu: Perjalanan Neas Wanimbo Mendirikan Hano Wene

Posting Komentar
Perjalanan Neas Wanimbo Mendirikan Hano Wene


Wajahnya tampak lelah, keringat bercampur debu membasahi dahi. Pundaknya pegal bukan main, menahan berjam-jam karung yang beratnya minta ampun, karung besar berisi buku-buku. 

Dalam kondisi bersusah payah sedemikian rupa, Neas Wamindo dan tim bahkan masih harus berjalan kaki selama tujuh jam melintasi jalanan berbatu yang tak terawat di Lembah Kulugi tanpa alas kaki dikarenakan terjadinya longsor di sungai Jetni yang telah memutus akses jalan.

Meski demikian, semangatnya tak pernah surut. Tekadnya bulat bahkan mendekati “ngotot”, ia ingin buku-buku yang diantarkannya dengan penuh perjuangan itu, dapat mengisi penuh ruangan kosong di sebuah sekolah di Distrik Tangma.

Sebuah ruangan yang berukuran sangat kecil, berdinding papan, dan beralaskan kayu yang dingin. Ruangan, yang ia dirikan bersama rekannya di Hano Wene. 

Hati mana yang tak terenyuh dan bertanya, siapa yang betah membaca di ruangan dingin dan tak nyaman itu? Saya pribadi mungkin enggan karena membaca bagi saya adalah petualangan imajinasi paling menyenangkan dalam hidup saya. Sehingga rasa nyaman, adalah keharusan yang saya butuhkan ketika membaca.

Tapi nyatanya, mereka, anak-anak Lembah Kulugi, tidak hanya bersedia, mereka bahkan bersyukur memiliki ruang ajaib mereka sendiri. Saya Pun merasa malu. Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, mereka masih semangat belajar dan antusias membaca, sementara saya, terkadang menyelesaikan satu buku saja masih berjibaku dengan ribuan alasan yang mengada-ada.

Ironi antara ribuan alasan yang mengada-ada itu dan kesungguhan hati mereka akhirnya menyadarkan saya, ruang ajaib itu adalah benar adanya, dan keajaibannya tidak terletak pada bangunannya.

Ruangan sederhana itu telah menjadi tempat istimewa bagi anak-anak kaki gunung Lembah Kulugi di Distrik Tangma. Tempat di mana mereka bisa menjelajah belahan dunia lain, mengetahui keajaiban alam, dan memiliki rasa kagum terhadap perkembangan teknologi, meski hanya duduk bersila di lantai yang dingin.

Di pangkuan mereka, buku-buku terbuka lebar. Suara mereka lirih namun penuh semangat, mengeja huruf demi huruf. Kadang mengeja tertahan, lantas menyusul tawa kecil.

Layaknya bunglon, wajah mereka berubah - ubah dengan cepat mengikuti pandangan mata yang menelusuri jejak halaman buku yang terbuka.

Kadang mereka menahan napas saat mengeja huruf pertama, di lain waktu memicingkan mata seolah takut salah baca. Sementara tawa kecil mulai pecah ketika salah satu teman keliru membaca, hingga akhirnya mereka tertawa bersama.

Tak ada rasa malu, sebaliknya, dengan sorak sorai mereka melanjutkan bacaan mereka meski terbata-bata hingga akhirnya berhasil menyelesaikan satu kalimat. Rasa bangga itu terbaca jelas di wajah mereka, sebuah rasa hangat yang hanya dimengerti oleh orang-orang yang dulu merindukan buku, seperti Neas Wanimbo.

Menyadari minimnya akses buku di kampungnya, Neas bertekad mengubah kebahagiaan sesaat itu menjadi solusi permanen. Benih niat tulus yang hanya bermodal tekad sederhana, perlahan berubah menjadi harapan yang tumbuh subur dan menjelma menjadi Yayasan bernama Hano Wene, jembatan hangat yang menghubungkan anak-anak pedalaman dengan buku dan ilmu pengetahuan.

Dari satu ruang kecil di Tangma, Hano Wene kini menyalurkan ribuan sayap kertas dan perlengkapan sekolah ke berbagai kabupaten di Papua. Tujuannya sederhana: agar setiap anak yang dulu tak punya buku untuk dibaca, kini bisa membuka halaman pertama dari mimpi mereka sendiri.

Neas Wamindo dan tim berjalan selama 7jam melintasi jalanan berbatu yang tak terawat di Lembah Kulugi tanpa alas kaki.
Neas Wamindo dan tim berjalan selama 7 jam melintasi jalanan berbatu yang tak terawat di Lembah Kulugi tanpa alas kaki.


Anak - anak lembah Kulugi, Kampung Huewi, Desa Tangma
Anak - anak  Kampung Huewi, Desa Tangma, membaca dengan riang meski dalam keterbatasan


Anak yang Belajar dari Alkitab


Lahir pada tahun 1995, Neas bukanlah anak dari keluarga berada, melainkan putra seorang petani sederhana. Sejak kecil, setiap hari ia terbiasa bermandikan panas terik matahari dan hidup akrab dengan segala keterbatasan, termasuk soal pendidikan.

Neas kecil bersekolah gratis di SD kampungnya, belajar di ruang kelas sempit dengan bangku seadanya dan hanya memiliki satu guru untuk mengajar enam kelas. Ironisnya, buku pelajaran pun hampir tidak ada. Meskipun begitu, ia datang setiap pagi dengan semangat, karena baginya, sekolah adalah satu-satunya tempat untuk merajut mimpi lebih jauh dari kampungnya.

Di tengah terbatasnya akses pendidikan di tanah Papua, Sang ayah adalah sosok pahlawan literasi bagi Neas. Ayahnya adalah orang yang menyalakan cahaya pertama dalam hidupnya, sosok yang membentuknya menjadi jembatan harapan di masa depan. Melalui Alkitab yang kerap diajarkan sang ayah setiap hari di pagi hari, Neas mulai mengenal huruf dan lancar membaca. Maka tak heran, ketika ia masuk SD YPPGI Tangma, ia sudah jauh di depan teman-temannya.

Namun, ia bukan anak yang sombong. Justru sebaliknya. Melihat kondisi sekolah yang serba kekurangan, Neas kecil tanpa disuruh membantu mengajar kelas 1 dan 2.

"Saat itu saya masih kecil, bahkan masih tidak berpakaian lengkap. Saya tidak bisa menulis di papan tulis yang tinggi, sehingga kami harus mendorong meja ke depan agar saya bisa berdiri di atas meja dan mengajar," paparnya.

Di atas meja kayu reyot itu, ia menggantikan sang guru ketika mengajar di kelas lain, membantu teman-temannya belajar membaca, menulis, dan berhitung.

"Walaupun kebanyakan teman saya tidak dapat melanjutkan sekolah karena kendala ekonomi, saya sangat terharu dan bangga dengan mereka karena sekarang mereka dapat membaca dan menulis," lanjutnya.

Nampaknya Tuhan telah menggariskan takdir baik baginya, sebagai pemantik cahaya masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di pedalaman Papua, bersama Hano Wene.


Anak-anak tanah Papua, bersekolah di SD YPPGI
Anak-anak bersekolah di SD YPPGI, sekolah dimana Neas pernah menimba ilmu

Jalan Panjang Meraih Pendidikan


Bukan kisah kasih sedih di hari minggu, tapi kisah perjalanan Neas menimba ilmu nyatanya terasa sedih dan menderu.

Neas menyelesaikan sekolah dasar dengan gratis, namun ketika tiba saatnya melanjutkan ke SMP, Neas kecil harus bersiap menempuh perjalanan ke kampung lain yang jaraknya 10 hingga 15 jam berjalan kaki.

Meski demikian, semangat Neas tak pernah surut. Bahkan saat SMP, Neas sempat bermimpi menjadi pilot agar bisa membawa orang-orang ke pedalaman. Tapi setelah tahu betapa mahalnya sekolah penerbangan, ia sadar impian itu sulit dicapai. Lantas Neas mencoba berbagai lomba berhadiah beasiswa, tapi sayangnya ia harus harus menelan pahit kegagalan.

Hingga akhirnya seorang guru Pendidikan Jasmani memanggilnya dan menawarkan program beasiswa angkat besi ke Jayapura. Meski tidak berminat menjadi atlet, Neas melihat hal tersebut sebagai peluang agar tetap bisa bersekolah tanpa membebani orang tuanya.

Perjuangan Neas pun masih berlanjut ketika melanjutkan SMA di Jayapura. Untuk membiayai sekolah, Neas bekerja serabutan, menjaga anak, kuli bangunan, menjahit sepatu, hingga memperbaiki alat listrik.

Meski kondisi ekonomi terasa makin mencekik, Neas masih ingin melanjutkan pendidikan pasca lulus SMA. Namun ia sadar bahwa kuliah pun butuh biaya besar.

Meski demikian tekadnya belum padam dan tetap berusaha melakukan berbagai cara untuk memperoleh program beasiswa, dan satu per satu diterima.

Akhirnya jalan menuju bangku kuliah pun tercapai, menembus batas Papua hingga menyeberang lautan, menempuh jarak kurang lebih 3.839 kilometer dan menghabiskan tujuh malam penuh di kapal menuju Jakarta, demi meraih mimpi di Tanri Abeng University.

Sungguh, perjalanan yang tak sia-sia karena berselang empat tahun kemudian, pada Agustus 2019, kabar gembira sampai di Tangma, Neas dinobatkan sebagai wisudawan terbaik universitas. Anak dari kampung di pedalaman Yahukimo itu berdiri di atas panggung ibu kota, membuktikan bahwa kerja keras dan keyakinan bisa menembus batas apapun.

Namun hari yang seharusnya penuh kebahagiaan itu terasa sepi. Kedua orang tuanya tidak dapat hadir karena keterbatasan biaya. Saat namanya dipanggil, Neas melangkah ke podium seorang diri, hanya ditemani tepuk tangan dan cahaya lampu yang terasa dingin.

Lantas, Neas melipat toga hitamnya dengan hati-hati bersama ijazah dan harapan yang sudah terwujud lantas Ia bawa terbang, jauh melintasi awan, kembali ke Tangma.

Dengan uang hasil kerja paruh waktunya, Neas membeli tiket pulang ke Papua. Di sana, di halaman rumah yang berumput hijau, tempat Ibunya biasa menjemur kopi, Neas mengenakan toga itu lagi.

Air mata Ibunya jatuh, hangat, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebanggaan yang telah lama disimpan dalam pelukan seorang petani. Toga itu tidak lagi berbau gedung kampus, tapi beraroma damai Papua dan cinta keluarga.

Neas memeluk sang Ibu lantas berkata, “Sa pulang supaya Mama bisa lihat Sa diwisuda.


Neas Wanimbo berfoto mengenakan pakaian wisuda bersama sang Ibu
Neas Wanimbo berfoto mengenakan pakaian wisuda demi sang Ibu

Neas Wanimbo berfoto  bersama Ibunda
Neas Wanimbo berfoto  bersama Ibunda di kampung halamannya


Hano Wene: Kabar Baik yang Tumbuh dari Ruang Kosong


Sosok Neas Wanimbo, nyatanya tidak hanya memiliki leadership yang tinggi, empati dan simpati yang begitu mendalam, tapi juga ramah.

Di sela-sela kesibukannya bersama Hano Wene, Neas masih sempat membalas chat saya via Instagram dan berlanjut melalui platform WhatsApp. Meski dalam kondisi kurang sehat, dengan ramah, Neas menjelaskan perihal bagaimana Hano Wene pertama kali terbentuk.

Dengan warna suara yang berat, agak serak, dan logat Papua yang khas, Neas menjelaskan bahwa, di tengah sibuknya menjalani hari-hari berkuliah di Jakarta, ia pulang ke kampung halamannya pada tahun 2015. Kaget tak terkira ketika Neas mendapati bahwa, pahit yang membelenggunya sejak kecil, yaitu minimnya akses pendidikan dan kurangnya sarana serta prasarana, masih sama seperti dulu ketika ia tinggalkan.

Terutama kondisi SD YPPGI Tangma, sekolah tempat Neas kecil pernah menjadi "guru" bagi teman-temannya, juga masih sama. Meskipun sekolah ini telah berdiri sejak tahun 1963, kurangnya peningkatan pada sarana dan prasarana menyebabkan sekolah tersebut jauh tertinggal dari penggunaan kurikulum terbaru.

Tak hanya itu, kondisi geografis Tangma yang dikelilingi pegunungan, jalan yang rusak, dan rawan longsor menyebabkan kampungnya menjadi daerah yang terisolasi. Imbasnya cukup fatal, Dinas Pendidikan setempat jarang datang, menyebabkan warga selalu ketinggalan informasi terkini tentang dunia pendidikan.

Angka-angka pun bicara lebih lantang, dari 6.000 jiwa populasi di kampungnya, sebanyak 40% orang dewasa tidak pernah mengecap bangku sekolah. Sementara dari mereka yang sempat bersekolah, hanya 5% yang sanggup mencapai jenjang SMA dan pendidikan tinggi.

Neas pun kembali ke Jakarta, melanjutkan kuliahnya sembari menyimpan rasa sedih dan sesal mendapati kampung halamnnya masih memiliki permasalahan yang sama. 

Berbekal niat tulus, Neas mulai berdiskusi dengan banyak pihak, forum-forum, organisasi di kampus dan sahabat - sahabat. Bersama teman-teman, Neas mulai mengumpulkan buku yang awalnya mencapai 500 buku examplar yang lantas ia kirimkan ke Tangma.

Pasca kelulusan, Neas kembali ke kampung halamannya. Bukan untuk beristirahat melainkan melanjutkan perjuangan yang ia rintis bersama teman-temannya. Kembali ke SD YPPGI Tangma dan memanfaatkan ruang kosong yang sudah lama tak terpakai untuk menindaklanjuti inisiasi perpustakaan Hano Wene yang ia rintis sejak tahun 2017.

Bangunannya tidak besar. Namun, perpustakaan Hano Wene hadir menghangatkan harapan. 

Nama Hano Wene sendiri memiliki filosofi mendalam, Hano berarti 'baik ' sementara Wene berarti 'berita'. Program yang dibuat Neas bertujuan menjadi Kabar Baik yang tulus bagi masyarakat terutama masyarakat Papua. 

Anak-anak sering datang tanpa diminta. Mereka membuka sepatu di depan pintu, lalu duduk bersila di lantai, membuka buku dengan hati-hati seolah memegang benda berharga. Suara mereka membaca pelan-pelan menjadi irama khas setiap sore di tempat itu.

Dari satu ruang kecil di Tangma, Hano Wene kini telah berkembang menjadi Yayasan Hano Wene Indonesia. Ia mengelola 14 perpustakaan dan sekolah binaan di berbagai wilayah, bahkan hingga Maluku. Lebih dari 10.000 buku telah dikirim dan dibagikan, mendukung lebih dari 800 siswa di daerah terpencil.

Inisiatif ini membuahkan hasil. Anak-anak pedalaman Papua kini mulai lancar membaca, para guru pun kembali bersemangat mengajar, dan membaca perlahan menjadi kebiasaan baru di tempat yang dulu jauh dari akses pendidikan.


Perpustakaan Hano Wene pertama yang berlokasi di SD YPPGI Tangma, Provinsi Papua Pegunungan
Perpustakaan Hano Wene pertama di SD YPPGI, Tangma


Neas Wanimbo bersama adik-adik kelasnya di Kampung Huewi
Neas Wanimbo bersama adik-adik kelasnya di Kampung Huewi


Neas Wanimbo bersama anak-anak sekolah SD YPPGI
Neas Wanimbo bersama anak-anak sekolah SD YPPGI


Visi dan Misi Hano Wene untuk Papua : Dari Buku, Air, dan Cahaya


Visi dan misi Hano Wene sederhana tapi tegas, agar setiap anak di pedalaman Papua bisa mengakses pendidikan yang layak, memiliki buku pelajaran berkualitas, dan agar guru-guru di pedalaman mendapat perhatian khusus.

Sebagai putra asli Papua, Neas memahami betul kebutuhan mendasar masyarakatnya. Ia memilih pendekatan berbasis budaya dan kedekatan personal, menjadikan Hano Wene sebagai contoh nyata organisasi akar rumput yang tumbuh dari masyarakat sendiri.

Program Hano Wene meluas melampaui perpustakaan sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan. Ia turut serta dalam pengembangan dan pembangunan terkait kebutuhan masyarakat di Distrik Tangma yang sama mendesaknya.

Listrik dan Literasi Masyarakat Setempat


Bersama warga, Hano Wene mengembangkan proyek listrik ramah lingkungan di Kampung Illunggime, Kabupaten Lanny Jaya. Selain itu, Hano Wene juga kerap mengadakan edukasi literasi mengenai mitigasi bencana alam. Di Desa Ilunggime, misalnya, Neas dan masyarakat melakukan pemetaan wilayah rawan longsor dan merencanakan penanaman pohon di area berisiko. Upaya ini memastikan masyarakat tidak hanya tercerahkan oleh ilmu, tetapi juga memiliki kesadaran akan keselamatan diri.


Neas memberikan edukasi kepada warga di kampungnya
Neas memberikan edukasi lingkungan dan pendidikan kepada warga di kampungnya

Bersama Hano Wene, memetakan wilayah rawan longsor
Bersama Hano Wene, memetakan wilayah rawan longsor


Mengupayakan Akses Air Bersih


Akses memperoleh air bersih nyatanya menjadi permasalahan lain yang tak kalah mendesak. Oleh karenanya, Hano Wene mengupayakan akses air bersih di beberapa daerah pedalaman yang masih bergantung pada sumber air dari sungai atau air hujan. Program ini krusial, karena masalah kesehatan dan sanitasi yang buruk adalah penghalang utama bagi anak-anak untuk rutin datang ke sekolah.


Hano Wene bersama warga kampung Illunggime Kab.Lanny Jaya bekerjasama mendirikan PLTA untuk menghidupkan aliran listrik
Hano Wene bersama warga kampung Illunggime Kab.Lanny Jaya bekerjasama mendirikan PLTA untuk penyediaan air bersih dan menghidupkan aliran listrik

Free Breakfast at School

Hano Wene juga memiliki program rutin bertajuk "Free Breakfast at School". Program ini diinisiasi Neas karena banyak anak di pedalaman datang ke sekolah tanpa sarapan, padahal mereka harus berjalan jauh melewati bukit dan sungai dengan perut kosong. Seminggu sekali, para relawan Hano Wene memasak makanan bergizi sederhana di sekolah, yang cukup memberi tenaga dan semangat belajar bagi anak-anak.

Di tempat yang dingin dan jauh, Hano Wene telah membuktikan bahwa kabar baik memang bisa datang, dibawa oleh tangan-tangan tulus yang menanam harapan.


Dengan lahap anak-anak menikmati santapan free for breakfast, makan pagi yang bergizi pemberian donatur melalui Hano Wene
Dengan lahap anak-anak menikmati santapan free for breakfast, makan pagi yang bergizi pemberian donatur melalui Hano Wene


Dari Kampung ke Dunia


Neas selalu percaya, cerita kecil bisa menumbuhkan perhatian besar. Dari kampungnya yang jauh di pegunungan Papua, ia ingin dunia mendengar tentang anak-anak yang duduk bersila di lantai, memegang buku pertama mereka dengan mata berbinar.

Untuk mewujudkan hal itu, lahirlah Aspire to Inspire, sebuah program Hano Wene yang merekam kehidupan sehari-hari masyarakat pedalaman. Video-video itu menampilkan guru mengajar di kelas sederhana, anak-anak menyeberangi sungai untuk belajar, kabut pagi yang turun di gunung, dan tawa yang pecah di ruang belajar kecil.

Usahanya perlahan membuahkan hasil dan mampu menembus batas Papua. Kisah Hano Wene dan anak-anak pedalaman mendapat pengakuan hingga meraih banyak penghargaan. Neas pun berkesempatan ikut program YSEALI (Young Southeast Asian Leaders Initiative), membawa nama Hano Wene ke kancah internasional.

Pencapaian luar biasa ini mencapai puncaknya ketika perjuangan dan usaha Neas Wanimbo menerima Apresiasi SATU Indonesia Awards pada tahun 2024.

Di balik semua penghargaan dan penghormatan yang diperoleh bersama Hano Wene, Neas Wanimbo tidak pernah merasa menjadi sosok paling tahu. Baginya, membawa nama Papua di dunia bukan soal prestise. Ini adalah cara untuk mengatakan bahwa dari tanah yang keras sekalipun, bisa tumbuh hal baik.

quote neas wanimbo
Sepenggal harapan dari Neas Wanimbo


Perjuangan Belum Usai, dan Dukungan Masih Dibutuhkan


Kehadiran Hano Wene telah membawa perubahan signifikan, tetapi Neas sadar betul perjuangan barulah dimulai. Jalan menuju perbaikan kualitas pendidikan di pedalaman Papua masih dipenuhi tantangan.

Secara internal, Neas dan tim harus berjuang keras mengambil kepercayaan dari masyarakat lokal. Untuk mengatasi keraguan ini, Neas memilih pendekatan yang tulus dan perlahan. Ia dan timnya tidak datang dengan janji-janji besar, melainkan memulai dengan hal-hal sederhana,  tinggal bersama warga, membantu aktivitas berkebun, dan ikut serta dalam kegiatan adat. 

Melalui kedekatan personal dan kehadiran yang konsisten, Hano Wene membuktikan diri sebagai bagian dari solusi masyarakat, bukan pihak luar yang mencari keuntungan.

Neas Wanimbo, bercengkerama bersama para tetua di kampung halamannya
Neas Wanimbo, bercengkerama bersama para tetua di kampung halamannya

Neas membantu aktivitas berkebun
Neas membantu aktivitas berkebun



Secara eksternal, tantangannya adalah logistik dan sumber daya. Untuk sampai ke Tangma, bantuan harus menempuh perjalanan udara dua kali (Jakarta–Sentani, Sentani–Wamena). Perjuangan kemudian dilanjutkan di darat, di mana Desa Tangma hanya bisa ditembus dengan mobil offroad atau berjalan kaki selama sepuluh jam seperti yang biasa dilakukan warga setempat.

Perjuangan kemudian dilanjutkan di darat, di mana Desa Tangma hanya bisa ditembus dengan mobil offroad atau berjalan kaki selama sepuluh jam seperti yang biasa dilakukan warga setempat.

Perjalanan darat ini tak kalah heroik. Jalur angkutan umum warga menuju Wamena, yang dilayani oleh mobil jenis Strada atau Ford Ranger, membutuhkan sekitar tiga jam perjalanan penuh bahaya.

Saat musim hujan, perjalanan bisa terasa 'hampir setengah mati' demi menembus medan tanah yang terjal dan sempit. Kendaraan harus meliuk-liuk di antara jurang yang hanya berjarak beberapa sentimeter. Bahkan, perjalanan juga kerap berhenti untuk menunggu babi, hewan ternak berharga milik warga, melintas di jalur mobil yang mereka buat sendiri.

Perjalanan ke titik distribusi, seperti Muliama, juga bukan tugas sederhana. Tim Hano Wene kerap mendapati buku-buku rusak di tengah jalan, belum lagi persoalan buku yang terkadang tidak sesuai dengan konteks dan budaya lokal. 

Padahal, buku-buku yang paling dibutuhkan mencakup buku anak, buku belajar dasar, buku-buku agama (kitab), alat tulis, dan buku cerita. Jarak yang menjadi permasalahan utama juga secara langsung menaikkan biaya akomodasi penyaluran bantuan.

"Proses yang kami lalui untuk memberikan bantuan ke sana, tidak seindah seperti foto-foto yang Anda lihat," tegas Neas. Ia dan relawan harus melalui proses panjang, dari membangun komunikasi, menulis proposal, survei lokasi, hingga mengorbankan waktu, tenaga, ide, dan kreativitas.

Meskipun medan dan tantangan sering membuatnya ingin menyerah, Neas dan teman-teman Hano Wene harus tetap semangat. Mereka percaya bahwa melalui perjuangan yang sudah mereka jalani sejak tahun 2017 itu, mereka sedang membangun harapan nyata untuk masa depan kampung mereka.

Filosofi ini tertuang dalam cara Neas memandang masyarakatnya. Ia tidak melihat mereka sebagai pihak yang membutuhkan penyelamatan, melainkan sebagai mitra dalam pembangunan.

"Sa percaya, ketika masyarakat diberi ruang dan kepercayaan untuk berkembang, mereka bisa membangun kampung sendiri dengan cara mereka sendiri," ujar Neas.

"Mereka hanya perlu didengar dan diberi ruang untuk bebas berekspresi. Sa akan terus berjalan bersama mereka, belajar, dan ikut membangun Tanah ini lewat pendidikan dan pemberdayaan." lanjutnya.

Kisah Neas adalah seruan bagi kita semua, namun, inisiatif akar rumput ini membutuhkan dukungan berkelanjutan dari masyarakat dan semua pemangku kepentingan. Dukungan yang terarah dan berkelanjutan terhadap desa-desa yang terisolasi seperti Tangma adalah kunci agar anak Papua dapat membuka halaman pertama dari mimpi mereka.

Jembatan Harapan yang Membutuhkan Tiang Penyangga


Setelah memenangkan pertarungan melawan alam dan jarak yang keras, Neas menyadari bahwa jembatan harapan yang telah ia bangun membutuhkan tiang penyangga permanen. 

Faktanya, tantangan terbesar Hano Wene saat ini adalah keberlanjutan pendanaan. Donasi selama ini didapat dari teman-teman dan relasi, namun Yayasan tidak memiliki sponsor tetap.

Isu finansial ini berimbas langsung pada sumber daya manusia. Saat ini, tim inti Hano Wene bekerja sebagai volunter dan tidak ada yang mendapat bayaran. Kondisi ini, ditambah dengan belum adanya kantor sekretariat tetap meski sudah ada di kantor sementara Jayapura, menyebabkan banyak program terhambat karena masalah komitmen relawan.

Neas percaya, solusi untuk mengatasi masalah ini adalah profesionalisme. Jika ada mitra pendanaan yang tetap, Hano Wene dapat mengangkat beberapa teman sebagai staf profesional dan memastikan masalah relawan yang tidak komit dapat diatasi. 

Dengan stabilitas dan profesionalisme ini, Neas berharap Hano Wene akan terus berdiri tegak sebagai kabar baik yang berkelanjutan, memastikan jangkauannya semakin meluas, dan dampak positifnya bagi masa depan anak-anak Papua akan semakin nyata.


Jenis kendaraan yang hanya bisa digunakan menembus daratan Tangma
Jenis kendaraan yang hanya bisa digunakan menembus daratan Tangma

Kondisi geografis Distrik Tangma ketika terjadi longsor
Kondisi geografis Distrik Tangma ketika terjadi longsor

Serah terima buku dari Hano Wene
Serah terima buku dari Hano Wene

Pemberian buku dan alat tulis di perpusatkaan Hano Wene, Tangma
Pemberian buku dan alat tulis di perpustakaan Hano Wene, Tangma

Kegembiraan yang tak bernilai, anak-anak bahagia dan antusias membaca buku pemberian dari donatur Hano Wene
Kegembiraan yang tak bernilai, anak-anak bahagia dan antusias membaca buku pemberian dari donatur Hano Wene

Bahagianya mendapat alat tulis baru dari para donatur melalui Hano Wene, sekolah pun semakin semangat dan rajin.
Bahagianya mendapat alat tulis baru dari para donatur melalui Hano Wene, sekolah pun semakin semangat dan rajin.



Huruf dan Harapan


Perjalanan Neas Wanimbo dari anak gembala yang belajar huruf dari Alkitab hingga menjadi pendiri Yayasan Hano Wene adalah bukti nyata bahwa keterbatasan geografis tidak melunturkan tekad.

Dilaman Instagramnya Neas berkata bahwa pendidikan bukan hanya tentang gelar, tapi tentang keyakinan bahwa setiap anak punya nilai. Ia percaya, literasi adalah jalan paling sunyi tapi paling pasti menuju perubahan.

Ketika ditanya tentang mimpinya, ia menjawab pelan, “Sepuluh tahun dari sekarang, saya ingin menjadi Menteri Pendidikan.” Namun, dengan semua yang telah ia lakukan, bukankah ia sudah menjadi itu, dengan caranya sendiri?

Kisah ini bukan sekadar tentang inisiasi gerakan peduli buku di tanah Papua. Lebih dari itu, inisiatif Hano Wene telah menjadi jembatan hangat bagi anak-anak Papua untuk mengakses ilmu pengetahuan, memberi mereka ruang dan keyakinan untuk menulis takdir mereka sendiri.

Namun, jembatan ini masih membutuhkan fondasi yang kuat. Program-program Hano Wene yang selama ini mengandalkan donasi relasi dan teman, kini membutuhkan investasi yang berkelanjutan untuk menjamin operasional dan profesionalisme tim volunteer.

Inilah saatnya bagi kita untuk terlibat. Bukan hanya sekadar memberi bantuan, melainkan menjadi mitra pembangunan harapan. 

Keterlibatan terarah dari perusahaan maupun organisasi dapat membantu Hano Wene merealisasikan mimpi menjadi kabar baik yang abadi bagi pedalaman-pedalaman di Papua,  mengubah anak-anak yang hanya bisa melihat jurang di lembah mereka, menjadi mereka yang kini memandang luas cakrawala dan memperoleh masa depan yang lebih baik.


Neas Wanimbo dan Tujuan Hano Wene



Daftar Pustaka dan Sumber Rujukan : 
  • Wawancara Langsung. Pesan WhatsApp dengan Neas Wanimbo (Pendiri Yayasan Hano Wene), Pada 10 Oktober 2025.
  • Indomedia Australia. "Neas Wanimbo – Mencerdaskan Anak-Anak Pedalaman Papua Lewat Perpustakaan." (https://indomedia.com.au/neas-wanimbo-mencerdaskan-anak-anak-pedalaman-papua-lewat-perpustakaan/). Diakses pada 09 Oktober 2025.
  • Neas Wanimbo (@neaswanimbo, Instagram). Seluruh konten visual dan kutipan langsung. (https://www.instagram.com/neaswanimbo/). Diakses pada 09 Oktober 2025.
  • Neas Wanimbo (Facebook). (https://www.facebook.com/neaswanimbo/). Diakses pada 09 Oktober 2025.
  • Yayasan Hano Wene (@hanowene, Instagram). (https://www.instagram.com/hanowene/). Diakses pada 09 Oktober 2025.
  • Hano Wene Official Website. (https://hanowene.org/). Diakses pada 09 Oktober 2025.
  • VOA Indonesia. "Hano Wene: Anak Muda yang Membawa Jendela ke Pedalaman Papua." (https://www.voaindonesia.com/a/hano-wene-anak-muda-yang-membawa-jendela-ke-pedalaman-papua/7598563.html). Diakses pada 09 Oktober 2025.
Eka FL
Blogger Gaya Hidup Kreatif - Creative lifestyle blogger
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar