Alasan Di Balik Keikhlasan Ibu Mertua
Bapak mertua saya, sudah sakit hampir dua tahun lebih. Sakit parah. Dokter mendiagnosa Bapak memiliki penyakit congenital heart disease atau jantung. Dokter bilang ini bawaan sejak lahir. Terjawab sudah semua keraguan keluarga selama ini, dimana Bapak seringkali mengeluh sesak dada. Selama ini kami mengira Bapak memiliki asma atau Bronchitis.
awalnya, Bapak enggan berobat ke dokter dan memilih pengobatan alternatif. lalu, ketika pengobatan alternatif dirasa sudah tidak lagi menunjukan hasil yang signifikan. Akhirnya Bapak mau berobat ke dokter. alhamdulillah.
Mengapa Bapak memilih berobat alternatif ketimbang langsung ke dokter? itu karena Bapak pernah mengalami reaksi alergi obat yang cukup parah. Jadi, sesakit apapun bapak, beliau memilih berobat ke pengobatan alternatif.
Saya dan Pak suami ( Paksu ) sudah berulang kali menyarankan sampai memaksa Bapak untuk berobat ke dokter dan memberi pengertian kalau dokter pasti akan bertanya alergi obat bapak dan kasih obat yang aman. Tapi tidak di gubris.
Akhirnya, Bapak merasa lelah dengan berobat alternatif yang tidak membuahkan hasil, akhirnya dengan terpaksa bapak mau berobat ke rumah sakit.
Namun, setelah di lanjutkan dengan berobat di dokter, kondisi Bapak tidak kunjung membaik. Badan semakin kurus, wajah Bapak pun tidak menyiratkan aura kesembuhan. Setiap saya melihat Bapak di rumah, selalu nampak murung dan sedih. Saya rasa, secara mental Bapak sudah down duluan.
Mengapa?
Bapak sepertinya mengalami stress atas vonis penyakit yang dideritanya Akibatnya, gejala psikomatis pasti Bapak rasakan. Seperti pusing dan mimisan atau keluar darah dari gusi. Sementara itu, saya lihat Bapak – Bapak lain yang juga memiliki penyakit yang sama dengan Bapak, terlihat sehat bugar seperti yang tidak memiliki penyakit parah.
Saya melihat kondisi Bapak yang begitu, agak sedikit geram juga. Terlebih melihat Ibu mertua yang dengan sabar dan ikhlas mengurus Bapak tanpa banyak mengeluh walau dirinya sendiri terkadang terlihat sangat kelelahan dan letih, terlebih dimalam hari dimana saatnya Ibu merebahkan tubuh yang payah kelelahan... eh Bapak selalu meraung dan meringis minta di pijit kaki.
Melihat kesabaran dan keikhlasan Ibu mertua mengurus Bapak, betul – betul bikin saya geleng-geleng kepala gak habis pikir.
Akhirnya saya bertanya pada Ibu mertua,
“ Mah, kok bisa sabar banget sih sama Bapak. Kalo saya pasti udah stress dan gak kuat. Bukan sama sakitnya bapak, tapi tingkah laku bapak yang gemesin “ tanya saya terheran-heran sambil makan ranginang, kriuk...kriuk
Lalu Ibu mertua menjawab santai sambil ikutan makan ranginang,
“ Karena ikhlas” jawab Ibu mertua sesingkat dan se sederhana itu. Saya pun melongo saking bingung dan gak habis pikir sama jawaban Ibu mertua.
“ Tapi ikhlas kan ada batasnya Mah, kok bisa sih Mamah masih tetep sabar ?” tanya saya lagi
“ Sabar mah gak ada batasnya atuh Neng. Di paksain aja, nanti lama – lama juga terbiasa. Jadi, ada pepatah sunda yang mengatakan, sing bakti kanu jadi salaki, sabab surga anjeun ayana di salaki. Mamah inget selalu ke sana “ jawab Ibu mertua menjelaskan.
Ehhm... jadi, bakti seorang istri ada pada suami, karena disanalah surga untuk seorang istri. Oke baiklah.
Tapi, saya masih gak paham. Melihat saya masih berkerut dahi dan mulut monyong tanda gak ngerti, Ibu mertua kembali melanjutkan penjelasannya,
“ Ibarat kita dulu hormat dan berbakti pada orangtua , seperti itu juga sekarang. Surga kita ada di suami kita. Allah akan ridho pada istri yang taat pada suami. Kunci pernikahan itu sebetulnya ada di tangan para istri, tong saruana mun pasea jeng salaki. Kudu bisa nurunkeun egois jeung ikhlas dengan situasi suami apapun itu “
Belajar Ikhlas, meluruhkan ego
Oh, i see. Saya mengerti, akhirnya.
Awalnya saya agak sulit menerima penjelasan ibu mertua dimana saya harus belajar sabar dan ikhlas serta harus bisa menurunkan ego pribadi.
Kesulitan ini saya rasakan karena saya masih memiliki ego yang cukup besar dalam diri saya. Ego untuk selalu diperhatikan lebih dahulu, ego untuk selalu di sayangi lebih dulu, ego tidak mau menerima kritikan Paksu dan ego-ego lainnya.
Mengapa ego saya bisa sedemikian tinggi? Karena,
orangtua saya bercerai jadi saya tidak punya bayangan atau pandangan sama sekali tentang esensi pernikahan itu seperti apa dan bagaimana berkomunikasi dalam pernikahan. Yang saya lihat dalam pernikahan hanya pertengkaran tiada akhir. Sehingga saya berasumsi, saya bebas mengutarakan apapun yang saya rasakan tanpa melihat situasi dan mood Paksu karena saya merasa itulah hak saya.
Hasilnya? Pertengkaran dan salah paham lah yang saya dapat. Belum termasuk perang dingin dan emosi yang terpendam.
Akhirnya, saya paksakan diri saya untuk mencoba memahami lebih dalam penjelasan ibu mertua dengan semedi. What? Hehehe, iya semedi alias muhasabah sambil tahajud lalu di lanjut curhat di jurnal.
Di sana, saya uraikan semua permasalahan yang kerap saya rasakan dengan Paksu. Sampai se detail-detailnya. Lalu diuraikan juga emosi atau perasaan saya terhadap masalah itu.
Dan akhirnya saya menemukan bahwa, saya itu orangnya sangat mudah bereaksi negatif terhadap suatu perkara, dan
baper-an. Saya juga kesulitan mengontrol emosi saya saat kelelahan dan kurang tidur. Ternyata hal itu juga memicu ego saya untuk di perhatikan dan di sayangi lebih dulu oleh Paksu.
Jadi permasalahannya sebetulnya, ada dalam diri saya sendiri.
Lantas kemana kah fungsi komunikasi dalam hubungan suami istri?
Kenapa gak di muntahin semua keluh kesah yang kita rasakan pada pasangan agar semua permasalahan beres tanpa tersisa?
Saya sudah mencoba untuk lebih terbuka akan apa yang saya rasakan, tapi saya selalu kesulitan mencari waktu yang tepat. Karena kesibukan Paksu mencari nafkah dari siang hingga tengah malam dan saya mengurus anak – anak sehingga kami jarang berkomunikasi dari hati ke hati seperti waktu kami masih pacaran. Jadi, sekalinya ngobrol yang di obrolin pasti urusan cuan. Akibatnya, saya banyak memendam emosi negatif termasuk saat kesal dengan Paksu.
Jadi, solusinya bagaimana ?
Pertama, saya kembali terus mengingatkan diri saya sendiri akan wejangan ibu mertua untuk sabar dan ikhlas kalau udah mulai kesel atau bete dengan Paksu. Inget, Surga lho balasannya.
Kedua, Menulis.
What?? Kok menulis. Iya, jadi menulis kan resah di jiwa bisa membantu saya mengurai sebetulnya apa sih permasalahan saya. Dari sana saya bisa cari solusinya. Kalau sudah menulis, biasanya saya merasa jauh lebih baik dan lega. Jadi, energi negatif saya terkonversi menjadi respon positif.
Menulis itu punya segudang manfaat, selain perasaan jadi lega juga mengasah kemampuan mennulis kita terutama di Blog dan siapa tau bisa ikut ajang
lomba menulis. iya kan?
Back to the topic, jadi setelah saya analisa, ternyata saya yang mudah reaktif dan baperan berdampak pada respon Paksu. Dia jadi males ngadepin saya dan ikut badmood. Ternyata Paksu ini orangnya sensitif jadi kalau saya badmood akan berpengaruh sama moodnya Paksu, sementara fokus utama beliau mencari nafkah yang merupakan tanggung jawab utama baginya.
Itu yang selalu jadi pikiran Paksu. Jadi wajar aja kalau sering terlihat murung kalau dagangan sepi. Karena Paksu mengkhawatirkan hal yang sangat realistis seperti, “ kalau dagang gak laku, mau dikasih makan apa istri sama anak gue?? “ begitulah kira-kira yang selalu ada dibenak Paksu.
Memang, suami juga wajib memberikan nafkah batin pada istri. Tapi saya paham, tidak semua para suami bisa se-bijak papah - papah lainnya yang memahami hal ini. Karena, para suami juga sama halnya dengan kita, belajar setiap hari menjadi seorang suami dan ayah. Di sinilah letak keikhlasan di perlukan, ikhlas menerima Paksu yang juga sedang belajar menjadi suami dan ayah.
Kadang saya lupa, Paksu memang tidak pandai merangkai kata atau ngasih saya wejangan dan kata-kata bijak serta menenangkan layaknya motivator. Tapi pandai memberikan saya kejutan dan menjawab curcol saya dengan jawaban paling realistis. Jadi, Paksu itu orangnya straight to the point, gak suka kode – kode tersembuyi. Jadi saya belajar untuk straight to the point juga, kalau saya bilang gak suka... ya bilang gak suka saat itu juga. Tapi, tetep saya harus memperhatikan mood Paksu.
Misal nih ya, saya pengen sentil Paksu soal kebiasaan jeleknya menyimpan kunci motor di mana aja padahal udah saya sediain box khusus tempat menyimpan kunci. Saya liat dulu, kalau Paksu keliatan lagi rudet sampai jidatnya berkerut kaya kerutan diwajahmu, hehehe......saya tunda dulu nyentil nya dan tarik nafas dalam – dalam biar energi negatif saya keluar dan pikiran lebih segar. Dan saya coba ulangi lagi nanti saat mood Paksu terlihat lebih baik.
Perjalanan Akhir
Orangtua saya memang
bercerai dan menorehkan luka yang cukup dalam. Terlebih perceraian mereka penuh drama dan pertengkaran sehingga saya hanya melihat sisi buruk dari pernikahan. Tetapi, perceraian orang tua saya juga memberikan saya banyak pelajaran tentang pernikahan. Seperti :
1. Belajar meredam ego dan emosi
2. Belajar memahami pasangan lebih dalam
3. Belajar ikhlas menerima segala kekurangan pasangan
4. Belajar strategi komunikasi yang tepat dengan pasangan
5. Saling memahami dan memaafkan satu sama lain adalah proses tiada akhir dalam pernikahan. Karena masing – masing pasangan tumbuh dan berkembang setiap hari. Sehingga perubahan itu pasti terjadi. Oleh sebab itu belajar pun tidak berhenti satu titik pencapaian saja.
Saru hal yang paling krusial yang saya pelajari, bahwa,
Jangan menuntut pasangan untuk memperhatikanmu lebih dulu. Tapi berhenti sejenak dan pikirkan, apakah kamu sudah melakukannya lebih dulu? Mau disayangi tapi gak balik menyayangi? Bukankah itu teramat sangat egois namanya?
Wejangan Ibu mertuaku sayang memang benar, sabar itu gak ada batasnya dan kita sebagai istri memang perlu meluruhkan ego sambil memperbaiki kekurangan kita. Ingat saja dengan balasan Allah kalau kita bersedia ikhlas dan sabar dalam pernikahan. Pasti mau kan? Kalau saya sih mauuuuu ^_^
Saya rasa
Allah itu memang Maha Adil. Saya diberi keluarga yang “cacat” tapi diberikan Ibu dan Bapak mertua serta Paksu yang Masya Allah baik dan perhatiannya luar biasa. Saya sangat bersyukur untuk itu.
Sebagai rasa syukur saya, maka saya perlu memperbaiki kekurangan saya yang mudah baper, moody dan bereaksi negatif. Bukan hanya untuk saya, tapi juga suami dan anak – anak saya. Bukankah ibu yang bahagia akan menghasilkan anak – anak yang bahagia?
Bahagia itu, kita sendiri yang ciptakan. Gak bisa beli kebahagiaan di Borma, kesana mah beli keperluan bulanan aja. Jangan lupa, minta cuan lebih yang warna merah buat beli kosmetik, eskrim dan coklat. Langsung todong aja, jangan pake kode – kode an, hahaha. Emak – emak juga perlu jajan dong, hihihi
Kalau kamu, gimana proses menjalani komunikasi dengan pasangan? Ada cerita lucu atau malah sebaliknya? Yuk saling berbagi (^_^)